Ada artikel menarik di www.investorindonesia.com
Minggu lalu merupakan minggu yang sangat-sangat mendebarkan khususnya bagi para investor di pasar modal. Bagaimana tidak, pasar saham turun hingga 8% begitupula dengan pasar obligasi. Kalau di deposito, investor masih mungkin mendapatkan bunga 8%/thn namun di pasar modal dapat turun 8% dalam satu minggu saja. Tidak terkecuali investor di reksadana ataupun unit-linked, semuanya terkena imbasnya.
Bagi investor jangka panjang tentunya penurunan ini dapat dijadikan momentum untuk melakukan investasi lagi di saat harga-harga sudah relatif lebih murah.
Apapun jenis investasinya tentunya ada sisi potensi hasil dan potensi risikonya. Kalau suatu produk investasi memberikan potensi hasil yang tinggi akan diimbangi dengan potensi risiko yang juga tinggi begitupula sebaliknya. Jangan pernah percaya bahwa ada produk investasi yang memberikan potensi hasil tinggi namun dengan potensi risiko kecil. Jangan pernah pula dalam melakukan investasi kita ikut-ikutan saja atau mengikuti trend tanpa pernah mengetahui seluk beluk dari produk investasi tersebut.
Selain itu sesuaikan produk investasi dengan berapa lama dan apa tujuan investasi kita..Kalau tujuan investasinya untuk mengumpulkan uang muka pembelian rumah tahun depan, akan kurang bijaksana apabila diinvestasikan ke instrumen yang lebih berisiko atau berencana untuk mempersiapkan biaya pendidikan akan tetapi investasinya hanya di deposito.
Semoga sukses dalam berinvestasi dan tetap optimis....
07/04/2008 09:38:01 WIB
TAJUK Investor Daily, 7 April 2008
Untuk kesekian kali pasar modal Indonesia dilanda panic selling. Pekan lalu, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) terpangkas hingga 8%. Penurunan ini terjadi saat bursa regional justru rebound.
Mengapa pasar modal Indonesia cenderung anomali dan rentan panic selling? Salah satu jawabannya adalah herd mentality yang diidap para pemodal lokal. Bagaikan kawanan hewan, pemodal lokal memburu saham yang dibeli asing dan menjual saham yang dilepas asing. Tidak ada independensi dalam memutuskan transaksi jual atau beli.
Herd mentality hanya mengakibatkan kerugian demi kerugian. Pemodal asing membeli pada saat harga murah dan melepas pada saat harga tinggi. Sebagai follower, pemodal lokal membeli pada saat harga sudah naik dan menjual pada saat harga saham turun.
Saat ini, pemodal asing tidak layak lagi menjadi indikator. Data BEI menunjukkan, transaksi asing tidak konsisten. Transaksi asing hari ini bisa saja net selling, tapi sehari berikut sudah net buying, dan seterusnya. Fakta ini memperlihatkan transaksi asing yang cenderung spekulatif dan berorientasi jangka pendek.
Peran lokal sudah cukup besar. Saat ini, porsi transaksi lokal sudah naik meningkat menjadi 60%. Tapi, dalam keputusan transaksi, pemodal lokal masih tetap bercermin pada asing dan menjadi follower.
Kejatuhan harga saham di BEI memang dipicu oleh krisis ekonomi AS yang berawal dari krisis subprime mortgage, yakni kredit macet perumahan masyarakat menengah bawah. Krisis ini membuat harga surat berharga dan berbagai derivatifnya yang berbasis kredit perumahan ambruk. Banyak perusahaan sekuritas dan bank komersial yang terkena krisis ini. Sebagian dari perusahaan itu bangkrut.
Untuk menutup dan mengurangi kerugian, perusahaan sekuritas asal AS yang beroperasi di Indonesia melepaskan portofolio saham. Aksi ini membuat pemodal lokal dilanda panic selling. Jatuhnya harga saham membuat pemodal lokal panik dan terpaksa melepaskan saham pada harga murah. Kondisi ini diperparah oleh ‘mental kawanan’ yang bertransaksi hanya ikut-ikutan.
Sebagai negara adidaya dengan PDB US$ 13,8 triliun atau 28% dari total PDB dunia, gerak ekonomi AS sedikit-banyaknya memengaruhi ekonomi dunia, termasuk perkembangan harga saham di BEI. Tapi, bisnis sebagian besar perusahaan bagus yang sahamnya tercatat di BEI tidak terkait langsung dengan AS. Dengan demikian, krisis ekonomi AS seyogianya tidak memengaruhi perkembangan harga sahamnya.
Faktanya, harga saham bluechips dan second layer di BEI rontok meski kinerja fundamentalnya bagus. Sekitar 80% dari 385 emiten di BEI yang sudah memublikasikan laporan keuangan meraih laba. Sebagian besar dari perusahaan ini mencatat kenaikan laba signifikan, bahkan cukup banyak emiten yang meraih laba hingga ratusan persen. Namun, saham dengan kinerja bagus ini justru anjlok harganya.
Harga saham di BEI tidak perlu jatuh begitu dalam seperti sekarang andaikan pemodal lokal tidak bermental kawanan, melainkan lebih mengandalkan pengamatan sendiri. Pemodal lokal harus bersikap bahwa sepandai-pandainya asing, pemahaman pemodal lokal tentang perusahaan Indonesia jauh lebih baik dibanding asing.
Pada saat harga saham hancur-hancuran seperti ini, baiklah kita bercermin pada superinvestor, Warren Buffett. Kekayaannya yang sudah mencapai US$ 65 miliar diperoleh dari sikap jitu dan persepektifnya dalam berinvestasi.
Saat membeli saham, kata Warren Buffett, kita harus berpandangan bahwa kita membeli perusahaan. Dengan cara pandang ini, horizon investasi kita tidak hanya untuk satu-dua tahun, apalagi hanya dalam hitungan bulan, pekan, dan hari, melainkan sedikitnya 10 tahun. Banyak saham di BEI yang adalah market leader di sektornya, berkinerja dan berprospek bagus.
Dengan horizon panjang seperti ini, pemodal tidak perlu panik oleh harga saham yang fluktuatif. Biarpun harga saham ambruk, pemodal tetap tegar, tidak terdesak untuk menjual karena akan tiba saatnya harga saham itu kembali terangkat. Jika cara pandang ini ada di mayoritas pemodal, harga saham tidak akan jatuh begitu dalam, bahkan sebaliknya rebound dengan cepat. ***
Senin, April 07, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar