Senin, April 07, 2008

Herd Mentality Hancurkan Bursa

Ada artikel menarik di www.investorindonesia.com

Minggu lalu merupakan minggu yang sangat-sangat mendebarkan khususnya bagi para investor di pasar modal. Bagaimana tidak, pasar saham turun hingga 8% begitupula dengan pasar obligasi. Kalau di deposito, investor masih mungkin mendapatkan bunga 8%/thn namun di pasar modal dapat turun 8% dalam satu minggu saja. Tidak terkecuali investor di reksadana ataupun unit-linked, semuanya terkena imbasnya.

Bagi investor jangka panjang tentunya penurunan ini dapat dijadikan momentum untuk melakukan investasi lagi di saat harga-harga sudah relatif lebih murah.

Apapun jenis investasinya tentunya ada sisi potensi hasil dan potensi risikonya. Kalau suatu produk investasi memberikan potensi hasil yang tinggi akan diimbangi dengan potensi risiko yang juga tinggi begitupula sebaliknya. Jangan pernah percaya bahwa ada produk investasi yang memberikan potensi hasil tinggi namun dengan potensi risiko kecil. Jangan pernah pula dalam melakukan investasi kita ikut-ikutan saja atau mengikuti trend tanpa pernah mengetahui seluk beluk dari produk investasi tersebut.

Selain itu sesuaikan produk investasi dengan berapa lama dan apa tujuan investasi kita..Kalau tujuan investasinya untuk mengumpulkan uang muka pembelian rumah tahun depan, akan kurang bijaksana apabila diinvestasikan ke instrumen yang lebih berisiko atau berencana untuk mempersiapkan biaya pendidikan akan tetapi investasinya hanya di deposito.

Semoga sukses dalam berinvestasi dan tetap optimis....


07/04/2008 09:38:01 WIB
TAJUK Investor Daily, 7 April 2008

Untuk kesekian kali pasar modal Indonesia dilanda panic selling. Pekan lalu, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) terpangkas hingga 8%. Penurunan ini terjadi saat bursa regional justru rebound.

Mengapa pasar modal Indonesia cenderung anomali dan rentan panic selling? Salah satu jawabannya adalah herd mentality yang diidap para pemodal lokal. Bagaikan kawanan hewan, pemodal lokal memburu saham yang dibeli asing dan menjual saham yang dilepas asing. Tidak ada independensi dalam memutuskan transaksi jual atau beli.

Herd mentality hanya mengakibatkan kerugian demi kerugian. Pemodal asing membeli pada saat harga murah dan melepas pada saat harga tinggi. Sebagai follower, pemodal lokal membeli pada saat harga sudah naik dan menjual pada saat harga saham turun.

Saat ini, pemodal asing tidak layak lagi menjadi indikator. Data BEI menunjukkan, transaksi asing tidak konsisten. Transaksi asing hari ini bisa saja net selling, tapi sehari berikut sudah net buying, dan seterusnya. Fakta ini memperlihatkan transaksi asing yang cenderung spekulatif dan berorientasi jangka pendek.

Peran lokal sudah cukup besar. Saat ini, porsi transaksi lokal sudah naik meningkat menjadi 60%. Tapi, dalam keputusan transaksi, pemodal lokal masih tetap bercermin pada asing dan menjadi follower.

Kejatuhan harga saham di BEI memang dipicu oleh krisis ekonomi AS yang berawal dari krisis subprime mortgage, yakni kredit macet perumahan masyarakat menengah bawah. Krisis ini membuat harga surat berharga dan berbagai derivatifnya yang berbasis kredit perumahan ambruk. Banyak perusahaan sekuritas dan bank komersial yang terkena krisis ini. Sebagian dari perusahaan itu bangkrut.

Untuk menutup dan mengurangi kerugian, perusahaan sekuritas asal AS yang beroperasi di Indonesia melepaskan portofolio saham. Aksi ini membuat pemodal lokal dilanda panic selling. Jatuhnya harga saham membuat pemodal lokal panik dan terpaksa melepaskan saham pada harga murah. Kondisi ini diperparah oleh ‘mental kawanan’ yang bertransaksi hanya ikut-ikutan.

Sebagai negara adidaya dengan PDB US$ 13,8 triliun atau 28% dari total PDB dunia, gerak ekonomi AS sedikit-banyaknya memengaruhi ekonomi dunia, termasuk perkembangan harga saham di BEI. Tapi, bisnis sebagian besar perusahaan bagus yang sahamnya tercatat di BEI tidak terkait langsung dengan AS. Dengan demikian, krisis ekonomi AS seyogianya tidak memengaruhi perkembangan harga sahamnya.

Faktanya, harga saham bluechips dan second layer di BEI rontok meski kinerja fundamentalnya bagus. Sekitar 80% dari 385 emiten di BEI yang sudah memublikasikan laporan keuangan meraih laba. Sebagian besar dari perusahaan ini mencatat kenaikan laba signifikan, bahkan cukup banyak emiten yang meraih laba hingga ratusan persen. Namun, saham dengan kinerja bagus ini justru anjlok harganya.

Harga saham di BEI tidak perlu jatuh begitu dalam seperti sekarang andaikan pemodal lokal tidak bermental kawanan, melainkan lebih mengandalkan pengamatan sendiri. Pemodal lokal harus bersikap bahwa sepandai-pandainya asing, pemahaman pemodal lokal tentang perusahaan Indonesia jauh lebih baik dibanding asing.

Pada saat harga saham hancur-hancuran seperti ini, baiklah kita bercermin pada superinvestor, Warren Buffett. Kekayaannya yang sudah mencapai US$ 65 miliar diperoleh dari sikap jitu dan persepektifnya dalam berinvestasi.

Saat membeli saham, kata Warren Buffett, kita harus berpandangan bahwa kita membeli perusahaan. Dengan cara pandang ini, horizon investasi kita tidak hanya untuk satu-dua tahun, apalagi hanya dalam hitungan bulan, pekan, dan hari, melainkan sedikitnya 10 tahun. Banyak saham di BEI yang adalah market leader di sektornya, berkinerja dan berprospek bagus.

Dengan horizon panjang seperti ini, pemodal tidak perlu panik oleh harga saham yang fluktuatif. Biarpun harga saham ambruk, pemodal tetap tegar, tidak terdesak untuk menjual karena akan tiba saatnya harga saham itu kembali terangkat. Jika cara pandang ini ada di mayoritas pemodal, harga saham tidak akan jatuh begitu dalam, bahkan sebaliknya rebound dengan cepat. ***

Kamis, April 03, 2008

Dipicu Volatilitas Pasar Finansial, Maret, NAB Reksa Dana Turun Rp 2 T

Dikutip dari www.investorindonesia.com

Terkait dengan penurunan IHSG di Bursa Efek Indonesia, total nilai aktiva bersih reksa dana juga mengalami penurunan. Menariknya, investor kita masih banyak yang melakukan subscription di Maret 2008 sehingga tercatat net subscription. Ini artinya masyarakat kita sudah lebih teredukasi dengan baik mengenai investasi di reksa dana khusunya di reksa dana saham. Pada saat IHSG turun, bukannya mereka melakukan penjualan melainkan melakukan pembelian.

Sama halnya dengan kondisi di pasar Obligasi, juga mengalami penurunan. Nilai aktiva bersih reksa dana pendapatan tetap juga ikutan turun. Harga Surat Utang Negara juga turun dan bahkan Pemerintah berencana melakukan buy-back. Harga ORI4 yang belum lama ini diterbitkan juga tidak luput terkena dampaknya. Informasi yang saya dapatkan, ORI4 diperdagangkan di harga 97-98% atau sudah turun 2-3% dari harga awalnya..

Disclaimer

Happy Investing


03/04/2008 19:22:14 WIB
Oleh Deviana Chuo
JAKARTA, Investor Daily

Total nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana per akhir Maret 2008 turun Rp 2,06 triliun menjadi Rp 93,11 triliun dibandingkan jumlah NAB reksa dana akhir Februari 2008 senilai Rp 95,18 triliun.

Meski demikian, jumlah total unit reksa dana (RD) meningkat menjadi 58,33 miliar dari bulan sebelumnya sebanyak 56,39.

Data e-monitoring Bapepam-LK menunjukkan, penurunan terutama terjadi pada RD pendapatan tetap sebesar 7,56% menjadi Rp 12,91 triliun dari sebelumnya Rp 20,79 triliun. Selain itu, NAB fixed income turun 4,76% menjadi Rp 483,48 miliar dari periode sebelumnya Rp 507,65 miliar.

Presiden Direktur Manulife Aset Manajemen Indonesia Naresh Krishnan menilai, penurunan NAB reksa dana murni dipicu koreksi pasar modal global. Tren tersebut diperkirakan masih berlanjut seiring lonjakan harga sejumlah komoditas, seperti minyak mentah.

Analis Mega Capital Ukie Jaya Mahendra mengatakan, turunnya NAB reksa dana juga disebabkan anjloknya pasar finansial secara keseluruhan. Pasalnya, jumlah redemption (penarikan) dan subscription (masuk)masih dalam angka wajar. “Ini murni disebakan gejolak pasar dunia, soalnya redemption dan subscription normal-normal saja,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (2/4).

Pada Maret 2008, redemption tercatatRp 7,50 triliun dari bulan sebelumnya Rp 9,55 triliun. Subscription mencapai Rp 11,39 triliun dari periode sebelumnya Rp 8,89 triliun.

Ukie menilai, ketidakpastian pasar seharusnya memacu investor untuk melakukan subscribtion. Soalnya, pasar regional sedang rebound dan hanya terkendala oleh harga komoditas seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Sementara itu, NAB Manulife per Maret 2008 juga turun menjadi Rp 8,02 triliun dari bulan lalu senilai Rp 8,41 triliun. Naresh mengatakan, investor justru banyak menginvestasikan dana kepada produk-produk reksa dana. Manulife mencatat subscription senilai Rp 667,87 miliar, sedangkan pada Februari lalu hanya Rp 396,46 miliar. “Turunnya NAB reksa dana dipicu oleh kondisi pasar global. Saya yakin, kinerja Manulife lebih baik tahun ini dibandingkan tahun lalu,” ujar dia.

Ukie mengakui, harga RD saham kini murah. Kendati cenderung volatile, ia memperkirakan, produk ini mampu memberikan imbal hasil (return) sekitar 5-10% pada semester II-2008. Sedangkan Naresh memperkirakan, return bisa mencapai 15-20% dalam 12 bulan mendatang.

Jangka Panjang
Presiden Direktur First State Investment Legowo Kusumonegoro menambahkan, saat koreksi pasar terjadi, price earning ratio (PER) menjadi murah. Hal tersebut ikut mendorong investor untuk menginvestasikan dananya.

Menurut Legowo, pertumbuhan reksa dana tetap berlanjut. Oleh karena itu, investor harus lebih bijaksana dalam melihat kondisi pasar global terutama RD saham. “Pelaku pasar sebaiknya bijaksana dalam menyikapinya. Sebab, investasi pada RD baru terlihat manfaatnya dalam jangka panjang,” tegas dia.

Meskipun NAB turun, RD pendapatan masih tetap menjanjikan. Menurut Naresh, produk ini lebih atraktif dan dapat memberikan return sebesar 12% dalam 12 bulan. Ukie memperkirakan, imbal hasil RD fixed income sekitar 10% dalam satu tahun. Soalnya, kejatuhan pasar obligasi tidak akan berlangsung lama dan segera pulih kembali.

Naresh menjelaskan, tren positif di pasar obligasi mulai terjadi dalam dua bulan mendatang, terutama jika didukung turunnya harga komoditas.

ETF Saham Naik
Sementara itu, total NAB exchange traded fund (ETF) saham justru melonjak 68,83% menjadi Rp 99,55 miliar. Pada Februari 2008, NAB tercatat Rp 58,96 miliar. Namun demikian, sejak awal Januari 2008 hingga bulan lalu, redemption dan subscription ETF saham dan pendapatan tetap tidak ada.

Menurut Ukie, likuiditas ETF cenderung mengikuti pergerakan indeks di pasar saham dan obligasi. Oleh sebab itu, NAB ETF saham dapat naik signifikan. Sebaliknya NAB ETF pendapatan berpotensi turun karena jatuhnya harga obligasi korporasi dan pemerintah belakangan ini.

Over Reaction Angka Inflasi Tekan IHSG BEI Anjlok 104 Poin

Dikutip dari www.investorindonesia.com

Memang sejak beberapa minggu terakhir, Bursa Efek Indonesia mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Naik-turun dengan perbedaan yang lumayan tinggi. Bahkan hari ini saja Indeks Harga Saham Gabungan sempat turun 5% sebelum akhirnya ditutup turun 4.45%.

Ada yang bilang ini akibat adanya kekhawatiran investor terhadap relatif tingginya tingkat inflasi Maret 2008 yaitu sekitar 0.9%. Kalau dihitung-hitung di tahun 2008 ini IHSG telah turun dari level tertingginya sekitar 20%.

Mayoritas saham sudah banyak turun dari level tertingginya bahkan ada juga saham yang telah turun 40-50% walaupun saham tersebut adalah saham2 dengan fundamental yang baik.

Bagi yang ingin berinvestasi jangka panjang, mungkin saat sekarang ini boleh dibilang merupakan kesempatan yang baik. Bagi yang sudah terlanjur beli sebelumnya dan akhirnya nyangkut....Ya, kita senasib-lah..he3. But, harus tetap optimis.

Harap Diingat, "Saham adalah instrumen investasi untuk jangka panjang"

Disclaimer.

Happy Investing


03/04/2008 18:36:36 WIB
JAKARTA, investorindonesia.com

Over reaction (reaksi yang berlebihan) terhadap angka inflasi Maret masih membebani perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Kamis, ditutup anjlok 104,218 poin (4,45%) untuk berada di posisi 2.237,971, sedangkan indeks LQ45 juga bergerak negatif dengan menurun 24,825 poin (4,96%) ke level 475,391.

Analis Riset PT Paramitra Asia Sekuritas Paradumuan kepada Antara, mengatakan, para pelaku pasar terlalu over reaction terhadap angka inflasi Maret year to year (tahunan) yang mencapai 8,17% atau di atas BI-rate sebesar 8,00%.

"Memang secara fundamental pasar masih menyoroti angka inflasi Maret, namun hal ini sudah over reaction," katanya.

Menurut Paradumuan, reksi yang berlebihan ini, selain inflasi, pasar saham yang sebagian besar dikuasai oleh pelaku margin pelaku pasar yang menggunakan transaksi margin melepas sahamnya karena jangka waktu pembayaran, sehingga memperparah penurunan indeks.

Dia juga mengungkapkan bahwa inflasi perlu perhatian pemerintah, karena sudah di atas BI-rate. "Jika tidak ada tindakan dari pemerintah ke depannya, akan di khawatirkan menjadi pemicu penurunan daya beli masyarakat, sehingga akan menahan industri di Indonesia," katanya.

Paradumuan juga menjelaskan bahwa keputuasan Bank Indonesia (BI) yang menetapkan BI-rate tetap sebesar 8,00% adalah langkah yang tepat.

"Sebenarnya BI dalam kondisi dualisme, karena suku bunga yang sudah negatif dibanding inflasi sangat berisiko untuk menghambat sektor riil, sehingga ke depannya pemerintah harus melakukan tindakan untuk menurunkan inflasinya," jelasnya.

Kondisi di atas telah membuat indeks BEI tidak mengikuti penguatan beberapa saham regional, seperti bursa Tokyo dengan indeks Nikkei-225 naik 200,54 poin menjadi 13.389,90, bursa Hong Kong dengan indeks Hang Seng ditutup naik 392,20 poin ke level 24.264,63 dan bursa Singapura dengan indeks Straits Times terangkat 46,93 poin menjadi 3.171,55.

Pada perdagangan di BEI Kamis ini masih didominasi saham yang turun sebanyak 187 dibanding yang naik hanya 17, sedangkan 33 stagnan dan 221 tidak aktif diperdagangkan.

Penurunan indeks dipimpin beberapa saham unggulan seperti saham Bumi Resources (BUMI) yang terkoreksi Rp 450 menjadi Rp 4.900, Astra Internasional (ASII) turun Rp 1.650 ke posisi Rp 19.800, Telkom (TLKM) tergerus Rp 300 ke Rp 9.400, Bakrie Plantations (UNSP) melemah Rp 190 ke level Rp 1.300, Bank Mandiri (BMRI) tertekan Rp 125 ke harga Rp 3.025, dan Astra Agro Lestari (AALI) anjlok Rp 2.050 ke Rp 20.750.

Volume perdagangan mencapai 3,620 miliar saham dengan nilai Rp6,545 triliun dari 69.602 kali transaksi. (*)